Jumat, 02 Desember 2011

MU'TAZILAH

a. Asal usul Mu’tazilah

            Mu’tazilah yang berasal dari bahasa Arab اعتزل)) berarti : menjauhkan, mengenyampingkan atau memisahkan.[1]
Sedang penamaan Mu’tazilah yang menggambarkan asal usulnya terdapat perbedaan pendapat :
            Al Syahrastani menjelaskan bahwa nama Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin ‘ Atho dengan teman-temannya ‘Amr bin Ubaid. Keduanya dikenal sebagai pengikut pengajian Hasan Basri yang setia, tetapi pada suatu hari datang salah seorang menanyakan tentang kedudukan pelaku dosa besar. Hasan Basri baru berpikir, tiba-tiba Washil bin ‘Atho mengemukakan pandangannya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya. Setelah itu ia meninggalkan pengajian, maka Hasan Basri mengatakan bahwa Washil bin ‘Atho menjauhkan diri dari kita (I’tazala) dan pengikutnya dinamakan Mu’tazilah.[2]
            Al Baghdadi menambahkan bahwa bukan masalah dosa besar saja Mu’tazilah berbeda pendapat dengan gurunya, tetapi juga masalah qadar, sehingga memisahkan diri dan membentuk pengajian sendiri.[3] Al Mas’udi mengemukakan pendapat yang sama bahwa mereka disebut kaum Mu’tazilah karena pendapatnya yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar berada pada posisi di antara mukmin dan kafir (al-manzilat baina manzilatain).[4] Kemudian Jarallah memperkuat dengan mengemukakan bahwa pendapat Mu’tazilah tentang pelaku dosa besar bukan kafir mutlak dan bukan pula mukmin mutlak, melainkan fasik.[5]
Ahmad Amin mengemukakan:
a.        Dikatakan Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya
b.       Disebut Mu’tazilah karena mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang-orang terdahulu mengenai kedudukan pelaku dosa besar
c.        Nama Mu’tazilah diberikan kepadanya karena pendapatnya yang keluar dari apa yang dianut oleh sebagian besar kaum muslimin tentang pelaku dosa besar
d.       Nama Mu’tazilah sebenarnya sudah dikenal beberapa tahun sebelum peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya Hasan Basri. Nama tersebut diberikan kepada golongan yang tidak mau terlibat pada pertikaian antara kelompok Usman bin Affan dengan kelompok Ali bin Abi Thalib.[6]
Tampaknya Ahmad Amin membagi dua kelompok aliran Mu’tazilah, kelompok pertama bercorak teologi, yakni terlibat dalam pembahasan mengenai pokok-pokok ajaran agama berdasarkan pemikiran, sementara kelompok kedua bercorak politik. Meskipun demikian, baik kelompok pertama maupun kelompok kedua berarti memisahkan diri karena tidak termasuk dalam kelompok yang ada pada masanya.
Pandangan Ahmad Amin tentang kelompok  Mu’tazilah kedua ada kemiripan dengan pandangan Orientalis, yaitu Nallino, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa Mu’tazilah tidak mengandung pengertian memisahkan diri dari umat Islam lainnya, tetapi merupakan golongan yang mempunyai pandangan yang bersifat netral antara pandangan Khawarij dan Murji’ah. Di samping itu, antara kelompok Mu’tazilah pertama dengan kedua merupakan satu rangkaian.[7]
Berbeda dengan pandangan Goldziher yang dikutip oleh Fazlur Rahman bahwa Mu’tazilah tidak suka terlibat dalam pertentangan apapun, sehingga nama Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab berarti absen dari, menjadi netralis, berada di sisi, menunjukkan kepada sifat mereka yang salah dan tidak suka ikut campur dalam pertentangan pendapat.[8]   
Golongan lain menamakan Mu’tazilah dengan Mu’attilah karena menafikan sifat-sifat Tuhan, tetapi mereka sendiri menamakan dirinya dengan Ahli Keadilan dan Keesaan ( Ahlu al Adl wa Al Tauhid).[9]

b. Corak Pemikirannya
           
Aliran Mu’tazilah dikenal sebagai golongan tradisional dalam Islam, karena di antara yang ada, dialah yang paling banyak memberi fungsi terhadap akal dalam membahas masalah keagamaan. Namun demikian, untuk mengetahui secara jelas corak pemikiran aliran Mu’tazilah, maka yang menjadi pembahasan utama dalam persoalan tersebut adalah peranan akal dalam kehidupan umat manusia, karena manusia dalam hidupnya di beri dua hal yang menjadi pedoman baginya agar tidak sesat, yaitu akal dan wahyu.
            Jika diperhatikan pembahasan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kehidupan beragama di kalangan Mutakallimin, senantiasa dihubungkan dengan 4 masalah pokok, yaitu: 1) Mengetahui Tuhan, 2) Mengetahui kewajiban Tuhan, 3) Mengetahui baik dan buruk, 4) Mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[10]
            Aliran Mu’tazilah dalam melihat masalah tersebut mengatakan bahwa keempat masalah di atas bisa diketahui akal.[11] Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik dan buruknya sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga wajib untuk melakukan penalaran yang mapan agar dapat mengantar manusia untuk mengetahui kewajiban-kewajibannya.[12] Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber pengetahuan yang dapat mengetahui apa yang mendatangkan mudharat dan dosa.[13]
Akal yang sudah sempurna itu dimiliki oleh orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya dialah yang dapat mengetahui 4 masalah tersebut di atas.
            Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa semua masalah secara rinci dapat diketahui oleh akal, tetapi ada hal-hal tertentu dimana akal sangat membutuhkan penjelasan wahyu karena akal mempunyai keterbatasan, yaitu dalam perincian terhadap baik dan buruk serta kewajiban umat manusia.[14]
             Al Jabbar menjelaskan bahwa akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk serta kewajiban, sehingga wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal tersebut, termasuk menjelaskan cara berterima kasih kepada Tuhan, seperti shalat, zakat, dan puasa.[15] Karena itu, ada pengetahuan baik yang diketahui oleh akal dan ada yang diketahui oleh wahyu, begitu pula dalam hal yang buruk.
            Fungsi lain dari wahyu dalam pandangan aliran Mu’tazilah dikemukakan oleh al Syahrastaniy yaitu mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya.[16] Di sini dapat dipahami bahwa jika melalui akal memerlukan waktu yang lama karena harus ada pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil keputusan.
            Oleh Harun Nasution dikatakan bahwa fungsi wahyu terhadap akal sebagai informasi dan konfirmasi.[17] Memberikan informasi terhadap apa yang belum diketahui oleh akal di samping mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui akal.
            Aboe Bakar Atjeh menjelaskan tentang fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah yaitu akal dapat menjangkau segala persoalan kehidupan manusia, sehingga apa yang dihasilkan oleh akal harus di terima. Jika terjadi pertentangan antara hasil akal dengan ketentuan wahyu, misalnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, maka harus di ta’wilkan agar sesuai dengan ketentuan akal.[18] Meskipun demikian, aliran Mu’tazilah tidak meninggalkan aturan.


c. Mu’tazilah dan peristiwa Mihnah

            Mihnah berarti cobaan atau ujian yang diberikan kepada aparat negara dan ahli hadis untuk mengetahui faham mereka.[19] Ujian ini dilakukan oleh Mu’tazilah yang pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah (813-847 M) yaitu masa khalifah al Makmun, al Mu’tashim dan al Watsiq, Mu’tazilah mengalami perkembangan dan kejayaan karena mendapat dukungan dari khalifah dan dinyatakan sebagai mazhab resmi pemerintah. Al Makmun sendiri termasuk murid  Abu Huzail al Dual (salah seorang tokoh Mu’tazilah dan bermaksud mengembangkan ajaran Mu’tazilah melalui kekuasaanya)[20]  
            Untuk melaksanakan gagasan yang terkenal dalam sejarah peristiwa al Mihnah ini, khalifah al Makmun dengan kekuasaannya mulai menerapkan dengan mengirim surat (instruksi) kepada gubernur-gubernurnya agar mengadakan Mihnah terhadap para qadhi yang berada dalam wilayah hukumnya. Pada saat itu khalifah sedang berada di luar kota Baghdad di kota Tarsus. Yang menjadi gubernur Baghdad ketika itu ialah Ishaq bin Ibrahim, isi surat tersebut agar para gubernur mengadakan penyelidikan terhadap para qadhi di daerahnya. Bagi mereka yang mengakui khalqu al Qur’an dan bersifat baru tidak qadim akan diberikan kepercayaan untuk melakukan mihnah terhadap orang lain. Instruksi mengadakan mihnah ini di Mesir cepat usai, tetapi di Kuffah kebanyakan masyarakat menentang kebijaksanaan khalifah.[21]
            Pada langkah pertama terbatas kepada tindakan pemecatan dan tidak diberikannya kepada orang-orang yang tidak mau mengakui diciptakannya al Qur’an tidak sampai terjadi penganiayaan. Selanjutnya perintah khalifah kepada Gubernur Ishaq bin Ibrahim agar mengirimkan kepadanya tujuh orang pemuka ahli hadis untuk di uji sendiri oleh khalifah sendiri mereka itu Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim Yazid bin Harun, Yahya bin Ma’in, Zubair bin Harb dan Ahmad bin al-Dauraqi. Hal ini dengan pertimbangan agar para pemimpin di daerah yang berpendapat bahwa al Qur’an itu qadim, mereka akan takut dan dengan mudah mengikuti pendapat khalifah tanpa terjadi fitnah. Bagi mereka yang mau mengakui bahwa al Qur’an itu qadim, mereka akan dibebaskan kembali ke negerinya (Baghdad) supaya mereka menyampaikan kepada para ahli hadis dan fiqih di daerah mereka.
            Pada kesempatan ini Ahmad bin Hanbal tidak diikut sertakan, melainkan dipanggil secara khusus untuk dihadapi oleh Ahmad bin Abi Daud Qadhi (advokat) kenamaan dalam urusan Mihnah. Karena Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sangat keras menentang faham Mu’tazilah terutama khalqu al Qur’an.
            Pada langkah kedua, khalifah tidak melepaskan para ahli hadis dan ahli fiqih yang tidak mau mengakuinya. Hal ini dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan dan memurnikan tauhid mereka, ibarat mengembalikan mereka dalam kekafiran.
            Jika perlu bagi mereka yang tetap konsisten dan membangkang akan dibunuh sebagaimana membunuh orang yang murtad dari agamanya, karena mereka adalah anutan masyarakat yang harus menjadi contoh, karena itu imannya haruslah benar. Berikut Ishaq bin Ibrahim mengumpulkan/memanggil 30 orang qadhi/ahli hadis dan ahli fiqih untuk diadakan mihnah bagi mereka. Dalam ujian ini semuanya mengakui kebaruan al Qur’an, kecuali hanya 4 orang yaitu: Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, Sajadah dan Qawarir. Mereka yang mengakuinya dibebaskan dan keempat orang tersebut dibelenggu. Beberapa hari kemudian, ketika diadakan mihnah kembali, mereka mengakui khalqu al Qur’an itu kecuali Imam Ahmad bin Hanbal, maka dilepaslah kesemuanya kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.[22]
            Penahanan Imam Ahmad bin Hanbal dan kemudian penahanan ke Tarsus, ia tidak dibunuh karena dikhawatirkan akan ada fitnah yang lebih besar karena banyaknya pengikut dan simpatisan dari kaum muslimin sampai tiba waktu terdengar berita tentang meninggalnya al Makmun, tetapi tidaklah ringan penderitaan Imam Ahmad bin Hanbal ini, karena sebelum khalifah meninggal ia telah mewasiatkan kepada keluarganya (al Mu’tashim) agar meneruskan ide dan kebijaksanaan ini (khalqu al Quran dan al mihnah), dan di ingatkan pula supaya selalu berkonsultasi dengan Ahmad bin Abi Daud.
            Ahmad bin Hanbal tetap juga dengan pendiriannya meskipun dengan pukulan dan cambukan, di dalam riwayat Mas’udi, beliau dicambuk dengan cemeti 30 kali sampai berlumuran darah. Ahmad bin Abi Daud  dan khalifah mengajak sang Imam ini untuk berdialog langsung dan di uji pula dengan penguji-penguji lainnya, namun Imam Ahmad bin Hanbal tetap pada pendiriannya semula sampai digantikannya khalifah dengan khalifah al Watsiq.
            Pada masa khalifah al Watsiq, beliau di usir dan tidak boleh ditengok oleh siapapun. Ahmad bin Hanbal bersembunyi tidak keluar sama sekali, baik untuk shalat maupun keperluan lain sampai ia meninggal dunia.
            Pada masa pemerintahan al Watsiq ini, al Mihnah tidak lagi hanya berlaku pada qadhi dan ulama-ulama ahli tapi juga diberlakukan lebih luas lagi seperti guru-guru, muadzin, penjaga masjid dan lain-lainnya sampai khalifah wafat dan digantikan dengan al Mutawakkil.

d. Ajaran-ajaran Mu’tazilah

1)      Al Tauhid
            Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemahaesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a.       Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b.      Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.[23]

Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa : penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir[24]   

2)      Al ‘Adl
            Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.[25]
            Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.

3)      Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar