Jumat, 21 Oktober 2011

METODE TAKHRIJ HADITS

Takhrij Hadis dan Metode-Metodenya

Menurut Mahmud al-Tahhan, pada mulanya ilmu Takhrij al-Hadis tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadis, karena pengetahuan mereka tentang sumber hadis ketika itu sangat luas dan baik. Hubungan mereka dengan sumber hadis juga kuat sekali, sehingga apabila mereka hendak membuktikan ke-sahih-an sebuah hadis, mereka dapat menjelaskan sumber hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis, yang metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab hadis tersebut mereka ketahui.[1]
Namun ketika para Ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu, dan  setelah berkembangnya karya-karya Ulama dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Sejarah, yang memuat hadis-hadis Nabi Saw yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka Ulama Hadis terdorong untuk melakukan Takhrij terhadap karya-karya tersebut.
Mereka menjelaskan dan menunjukkan sumber asli dari hadis-hadis yang ada, menjelaskan metodenya dan menetapkan kualitas hadis sesuai dengan statusnya, apakah sahih atau daif. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan Kutub at-Takhrij (Buku-buku Takhrij).[2]
Kitab-kitab induk Hadis yang ada mempunyai susunan tertentu, dan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Yang hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar penelitian dan pencarian hadisnya dapat dilakukan dengan mudah. Cara praktis dan ilmiah inilah yang merupakan kajian pokok ilmu Takhrij. [3]
A. Pengertian Takhrij Hadis
Takhrij menurut bahasa mengandung pengertian bermacam-macam, dan yang populer diantaranya adalah al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (melatih atau membiasakan), al-tawjih (memperhadapkan)[4]
Sedangkan secara terminologi, tajhrij berarti :
عَزْوُ الاحَادِيْثِ الّتِى تُذْكَرُ فِي المُصَنَّفاَتِ مُعَلَّقَةً غَيْرَ مُسْنَدَةٍ وَلا مَعْزُوَّةٍ اِلَى كِتاَبٍ اَوْ كُتُبٍ مُسْنَدَةٍ اِمَّا مَعَ الْكَلاَمِ عَلَيْهَا تَصْحِيْحاً وَتَضْعِيْفًا وَرَدًّا وَقَبُوْلاً وَبَيَانِ مَافِيْهَا مِنَ اْلعِلَلِ وَاِمَّا بِالاِقْتِصَارِ عَلَى الْعَزْوِ اِلَى الاُصُوْلِ  
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad,  baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya)nya.[5]
Para muhadisin mengartikan takhrij hadis sebagai berikut:
  1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
  2. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyususn kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
  3. ‘Mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mugis sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadis mengeluarkan hadis-hadisdari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu”.
  4. Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.
  5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber yang asli, yakni kitab yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian.[6]
Dari uraian defenisi di atas, takhrij Hadis dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
  • Mengemukakan asal usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi Saw. Kitab-kitab tersebut seperti; Al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak Al-hakim.
  • Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.
Dari berbagai pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat dari takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran dan pencarian hadis pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni; 1). Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan. 2). Syarat untuk penelitian sanad. 3). Menghindari kesalahan redaksi. 4). Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadis daif kepada hadis sahih atau sebaliknya.[7]

B. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.[8]
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para Ulama pengkodifikasi hadis.
Dengan mengetahui hadis tersebut dari sumber aslinya, maka akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya.
Dengan demikian Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Adapun manfaat takhrij Hadis antara lain sebagai berikut:
  1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian.
  2. Dapat diketahui status hadis sahih li zatih atau sahih li ghairih, hasan li zatih, atau hasan li ghairi. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.[9]
  3. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis da`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
  4. Memperjelas perawi yang samar, karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
  5. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
  6. Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya.
  7. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
  8. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.
  9. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[10]
  10. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadis tersebut mardud (ditolak).
  11. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.[11]

C. Kitab-Kitab yang Diperlukan dalam Men-takhrij
Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Diantara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam men-takhrij adalah: Usul al- Takhrij wa Dirasat al-Asanid oleh Muhammad Al-Tahhan, Husul al-Tafrij bi Usul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq al- Gharami, Turuq Takhrij Hadis Rasul Allah Saw karya Abu Muhammad al-Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi oleh Syuhudi Ismail, dan lain-lain.
Selain kitab-kitab di atas, di dalam men-takhrij diperlukan juga bantuan dari kitab-kitab kamus atau mu’jam hadis dan mu’jam para perawi hadis, diantaranya seperti:
  • AL-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini memuat hadis-hadis dari Sembilan kitab induk hadis seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmidzi, Sunan abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad.
  • Miftah Kunuz al- Sunna. Kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam empat belas buah kitab, baik mengenai Sunnah maupun biografi Nabi. Yaitu selain dari Sembilan kitab induk hadis yakni; musnad al-Tayalisi, Musnad Zaid ibn Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Talib, Al-Tabaqat al-Kubra, Sirah ibn Hisyam, Al- Magazi.[12]
Sedangkan kitab yang memuat biografi para perawi hadis diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Thahhan sebagai berikut:[13]
a) Kitab yang memuat biografi sahabat
  1. Al-Isti ab fi Ma`rifat al Asahab, oleh ibn ‘abd al-Barr al-Andalusi (w. 463 H/1071 M).
  2. Usud al-Ghabah fi Ma`rifat al-Sahabah, oleh Iz al-Din Abi al-Hasan Ali ibn Muhammadibn Al-asir al-Jazari (w. 630 H/ 1232 M)
  3. Al-Ishabah fi Tamyizal-Sahabah, oleh Al-Hafiz ibn Hajar al-asqalani (w. 852 H/ 1449).
b) Kitab-kitab Tabaqat yaitu kitab-kitab yang membahas biografi para perawi hadis berdasarkan tingkatan para perawi (tabaqat al-ruwat), seperti:
  1. Al-Tabaqat al-Kubra, oleh `Abdullah Muhammad ibn Sa`ad Khatibal-Waqidi (w. 230 H).
  2. Tazkirat al-Huffaz, karangan Abu `Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi (w. 748 H/ 1348 M).
c) Kitab-kitab yang memuat para perawi hadis secara umum;
  1. Al-Tarikh al-Kabir, oleh Imam Al-Bukhari (w 256 H/870 M)
  2. Al-Jarh wa al-Ta`dil, karya ibn Abi Hatim (w 327 H).

D. Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
1. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis
Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadis. Hadis-hadis dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi;
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafaz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV.[14] Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;
عَنْ اَ بِيْ هُرَيْرَةََ أَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاَلَ: لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُرْعَةِ اِنَّمَا الشَدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَالغَيْبِ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, mak akan sulit unruk menemukan hadis yang dimaksud. Sebagai contoh ;
اِذاأَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَ خُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadis tersebut adalah iza atakum (اِذا اَتَاكُمْ). Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum (لَوْ اَتَا كُمْ) atau iza ja’akum [15](اذاجَاءَكُمْ), maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadis yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang sama.
2. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis
Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.
Contohnya pencarian hadis berikut;
اِنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ
Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى) ta’am ( طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ) al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata tabara (تَبَارَى) di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jammenurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).
Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.
3. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, lalu kita mnecari bantuan dari tiga macam karya hadis yakni;
  • Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
  • Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya.
  • Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap.
Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawih yang hendak diteliti itu tidak diketahui.
4. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis
Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan ditakhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang mekharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh :
بُنِيَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ انْ لاَاِلهَ اِلاَّ اللّهُ وانَّ مُحَمَّدّا رَسُوْلُ اللَّهِ وَاِقَامِ الصّلاَةِ وَايْتَاءِ الزَّكاَةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاّ
Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Hadis diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.
5. Takhrij Berdasarkan Status Hadis
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti diatas dia telah melakukan takhrij al hadis.[16]
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.
Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :
  • Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi.
  • Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadis al-Qadsiyyah oleh al-Madani.
  • Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

E. Penutup
Pada hakikatnya takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran dan pencarian hadis pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni;
  • Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan.
  • Syarat untuk penelitian sanad.
  • Menghindari kesalahan redaksi.
  • Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadis daif kepada hadis sahih atau sebaliknya.
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Dengan demikian Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperkatikan kaida-kaidah ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman yaitu: 1) Takhrij melalui lafaz pertama matan hadis, 2) Takhrij berdasarkan tema hadis, 3) Takhrij berdasarkan perawi sahabat, 4) Takhrij berdasarkan status hadis, 5) Takhrij melalui kata-kata dalam matan hadis.

2 komentar: