Selasa, 18 Oktober 2011

PERKEMBANGAN HADITS

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HADITS

1.Perkembangan Hadits Pada Masa Rasullullah SAW
a.Cara Rasulullah Menyampaikan Hadis
Dalam riwayat Bukhari, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita, bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya dan tidak mengalami kejenuhan.

Ada beberapa cara yang digunakan oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan hadis kepada para sehabat yaitu:
Pertama, melalui jama’ah yang berada dipusat pembinaan atau majelis Al-Ilm terkadang kepala suku yang jauh dari madinah mengirim utusannya ke majelis, untuk kemudian mengajarkan kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan pada orang lain.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW, adalah melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada dan futuh mekkah.

b.Perbedaan Antara Sahabat dalam Menguasai Hadis
1)Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama dengan Rasulullah SAW
2)Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah SAW
3)Perbeadaan mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya pada sahabat lain.
4)Perbedaan mereka dalam waktu masih islam dan jarak tempat tinggal mereka dari majelis Rasulullah SAW.
c.Sahabat Yang Banyak Menerima Hadits dari Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, mereka adalah:
1)As-Sabiqun al-awalun (yang mula-mula masuk islam). Seperti Abubakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari nabi Muhammad Rasulullaah SAW, karena lebih awal masuk dari sahabat-sahabat lain.
2)Ummahad Al-Mukminin (isteri-isteri rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka lebih dekat denga Rasulullah SAW dari pada isteri lainnya. Hadits-hadits yang diterima kebanyakan berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-isteri.
3)Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Bin Amr Al-As.
4)Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah SAW, tetapi banyak bertanya kepada sahabat lainnya dengan sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah.
5)Para sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasulullah SAW dan banyak bertanya kepada lain dan dari sudut usia mereka hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW.

d.Menghafal dan menulis hadis
1)Menghafal hadis
Jika Nabi Muhammad Rasulullah SAW menginstruksikan pada sahabatnya supaya menulis dan menghafalnya, sedangkan terhadap hadis, beliau menyuruh mereka menghafal dan melarang mereka menulisnya secara resmi. Ini bertujuan untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan Hadis sebagai dua sumber ajaran Islam.
2)Menulis hadis
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW, untuk menulis hadis ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki catatan hadits yaitu:

Abdullah Bin Amr Bin Al-As
Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatannya berkisar sekitar 1000 hadis yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah SAW yaitu ketika beliau berada di sisi Rasulullah SAW tanpa ada yang menemaninya.
Jabir Bin Abdillah Bin Amr Al-Anshari (w.78 H) ia memiliki catatan hadits tentang manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan oleh muslim catatan ini dikenang dengan Shaitah Jabir.
Abu Hurairah Ad-Dawi memiliki catatan hadits yang dikenal dengan As-Sahafiah dan As-sahahihah. Hasil karyanya diwariskan kepada putranya yang bemama Hamam.
Abu Syah (Umar Bin Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk yaman. Ia memilih kepada Rasulullah SAW agar dicatatatkan hadits yang disampaikan beliau ketika pidato pada peristiwa Futuh Mekkah.

2.Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan penyebaran hadits dilanjutkan oleh para sahabat beliau, terutama oleh khulaf Ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib). Namun pada saat itu perkembangan hadits tidak begitu diutamakan karena prioritas yang paling utama pada saat itu adalah terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, dan periwayatan hadits sendiri belum begitu berkembang dan masih di batasi.
1)Menjaga Pesan Rasulullah SAW
Nabi Muhammad adalah Nabi yang sangat peduli terhadap keselamatan hidup umatnya baik itu kehidupan dunia terlebih untuk kehidupan akhirat. Beliau tidak henti-henti dan tidak bosan-bosanya memberikan nasehat, peringatan bahkan teguran terhadap umatnya. Beliau selalu meminta kepada para umatnya agar selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan As-sunnah yang telah beliau ajarkan dan yang telah beliau sampaikan serta beliau meminta agar sumber ajaran tersebut disampaikan atau didakwahkan kepada orang lain yang belum mengetahui tentang kebenaran yang disampaikan oleh beliau. Hal ini tercennin dalam hadis beliau berikut ini.



Artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya.”

Dan sabdanya pula



Artinya:
“Sampaikan dariku walaupun satu ayat atau satu hadis.”

Karena para sahabat-sahabat beliau sangat patuh dan sangat menghormati beliau, maka perintah yang beliau sampaikan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh para sahabat sehingga pada masa sahabat perkembangan dan imperium islam sangat luas dan wilayah dakwah islampun menjadi luas.

2)Teliti dalam meriwayatkan dan menerima hadits
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan pada hadits. Mereka menyadari bahwa hadits adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaiman Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya khulafa Ar-rasyidin dan sahabat lainnya berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.
Abubakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadits. Menurut Adz Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadits dengan hati-hati. Apabila ada sesorang yang ingin menyampaikan sebuah hadits, maka beliau menyuruhnya untuk mendatangkan saksi-saksi dan apabila saksi tersebut menyatakan benar maka hadits tersebut pula dinyatakan benar.
Sikap kehati-hatian itu sangat diutamakan oleh para sahabat dan itu juga di tunjukkan oleh Umar Bin Khatab, beliau juga apabila ada hadits yang ingin disampaikan maka orang tersebut harus mendatangkan saksi-saksi yang dapat dipercaya. Tetapi beliau juga selalu menerima hadis tanpa syarat tertentu atau hadis tersebut dianggap benar, seperti hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan sahabat-sahabat yang lain juga mereka melakukan hal yang sama dan bahkan orang yang merupakan sumber hadits tersebut harus melakukan sumpah terlebih dahulu seperti yang dilakukan oleh Ali Bin Abi Thalib.

3)Periwayatan Hadits
Ada dua jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafzhi, kedua adalah periwayatan maknawi.
a.Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW., ini hanya bisa dilakukan apabila mereka benar, benar nebghafl hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Kebanyakan para sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasulullah SAW, dan bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menururt Ajjal Al-Khatib, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan hadis itu dilakukan dengan lafzhi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan makanannya saja (maknawi), bahkan mereka tidak membolehkan mengganti satu huruf atau satu katapun. Begitu pula mendahulukan susunan kata yang disebut rasul belakangan atau sebaliknya meringankan bacaan yang siqal (berat) dan sebaliknya. Dan dalam hal ini Umar Bin Khatab pernah berkata: “barang siapa yang mendengar hadis dari Rasulullah SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan selamat.
b.Periwayatan Maknawi
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak menghafal persis yang diwurudkan oleh Nabi Muhammad SAW, di bolehkan meriwayatkan hadits berdasarkan maknanya (maknawi). Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadis yang matanya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW.
Mekipun begitu para sahabat melakukan dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis, ia menggunakan term-term tertentu untuk meguatkan penukilannya.
Periwayatan hadis dengan maknawi mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits yang lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan maknanya tetap sania. Hal itu sangat bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan haits-hadis tersebut.

3.Perkembangan Hadits Pada Masa Tabi’in
Wawasan Hukum Zaman Tabi’in
Antara Islam sebagai agama dan hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah Nabi SAW. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu. Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi’in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da’irat al-Ma’murah) telah mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang haruas dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi’in itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah.

Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, yaitu ialah Madinah Al-Munawaroh, Mekah Al-Mukaroma, kufah basrah, syam, mesir, magrib, dan Andalas, yaman, dan khurasan dan sejumlah para sahabat Pembina hadits pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat banyak meriwayatkan hadis, antara lain Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, Aisyah, Abdullah Bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id Al-Khudzri.
Pusat pembinaan hadis pertama adalah madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap setelah hijrah. Disini pula Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang terdiri dari Muahajirin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, disamping umat non muslim, seperti yahudi yang dilindungi oleh beliau. Para sahabat menetap disini, diantaranya khula Ar-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah Bin Umar, dan Abu Said Al-khudzri serta para pembesar tabi’in.
Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah tercatat nama-nama, seperti Muadz Bin Zabal, Atab Bin Asid, Haris Bin Hisyam, Usman Bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini tercatat Mujahid Bin Jabar, Ata’ Bin Abi Rabah, Tawus Bin Kaisam dan Ikrimah Maula Ibnu Abbas.
Masih banyak para sahabat dan Tabi’in yang berperan dalam perkembangan hadis diberbagai kota.

Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan politik ini terjkadi pada masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin, ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut, dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok. Secara langsung maupun tidak langsung, pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh kepada perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negative ialah munculnya hadis-hadis palsu (maudu’).
Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha untuk mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya peyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan akibat dari pergolakan politik tersebut.

4.Proses Perkembangan Hadis pada Masa Kodifikasi
Proses Kodifikasi al-Hadits
Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Abu Naaim menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan perhatikan hadits Nabi dan kumpulkan. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah SAW, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi SAW (Shahih al-Bukhari, Juz I. hal 29)
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zaharah al- Anshariyah (21-98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq.
Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).
Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M.M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jamia dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa taadil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismaail al-Bukhari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar