Selasa, 20 September 2011

HADITS DIRAYAH

A.    Pengertian Hadis Dirayah
Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu, ilmu disini berarti memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan ma'rifat adalah memahami secara bagian-bagiannya.
Hadits. Secara bahasa berarti baru, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat pribadinya dan juga disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in.
Hadits yang disandarkan kepada sahabat namanya hadits mauquf sedangkan hadits yang disandarkan kepada tabi'in namanya hadits maqthuu'.
Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,dan para ahli hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada  Dua cabang yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Ilmu Hadis Dirayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
Ilmu hadist dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para perawi dan jenis yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan menetapkan hadist-hadist itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu dengan lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan penulis kemukakan dua di antaranya:
Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
وَعِلْمُ الَحَدِيْثِ الخَاصُّ باِلدِّرَايَةِ : عِلْمٌ يُعْرَفُ مِنْهُ حَقِيْقَةُ الرِّوَايَةِ وَشُرُوْطُهَا وَأَنْوَاعُهَا وَأَحْكَامُهَا وَحَالُ الرُّوَاةِ  وَشُرُوْطُهُمْ  وَأَصْنَافُ الْمَرْوِيَاتِ وَمَايَتَعَلَّقُ بِـهَا
“Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui  hakikat riwayatsyarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawisyarat-syarat merekajenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.”
Dari definisi ini dapat dijelaskan beberapa hal, yaitu:
  • Hakikat Riwayat, yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu perkataan seorang perawi, “haddasana fulan” (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan: “akhbarana fulan” (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).
  • Syarat-Syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama’ (perawi mendengar langsung bacaan hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah (member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya),munawalah (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadis untuk seseorang), I’lam (member tahu seseorang bahwah hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dimilikinya), dan wajadah(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadis dari seorang guru.
  • Macam-macam Riwayat,  yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir,ataumunqathi’ (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan lainnya.
  • Hukum Riwayat, yakni al-qabul (diterimannya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
  • Keadaan para Perawi, maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-‘adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).
  • Syarat-syarat Mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-add’).
  • Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan hadis di dalam kitab al-musnadal-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW.
Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.[1]
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk seseorang), i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).[2]

B.     Model pengembangan hadits Dirayah

Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu (1) rijal al-sanad dan (2) jarah-ta’dil. Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau hasan atau dla’if. Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
 Rijal al-Sanad sering disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu untaian informasi tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun hadits. Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid yang berguru kepadanya, dari daerah mana dia, kedatangan dia ke seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya (ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat (cacad) bagi perawi, atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqil-baligh, kesatria (’adalah) dan kuat ingatan (dlabith), baik dlabith imgatan atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau sms dan sebagainya.
Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw. yaitu seseorang yang pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan hidup, sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat dalam keadaan Islam.
Jumlah sahabat Nabi susah dihitung, karena banyak yang tersebar di beberapa negara. Sebagai gambaran, Ibn Abbas menceritakan bahwa pada sepuluh hari sesudah Ramadlan, Rasulullah berpuasa, dan para sahabat pun ikut puasa. Setelah perjalanan sampai di daerah Kudaid, Rasulullah berbuka puasa, kemudian meneruskan perjalanan diikuti oleh sepuluh ribu sahabat, sampai ke daerah Shurar. Kasus itu terjadi menjelang Fathu Makkah. Dalam tempat lain, Kitab Nur al-Yaqin menulis bahwa Rasulullah melaksanakan Hajji Wada’ dan diikuti oleh enam puluh ribu kaum muslimin. Wallahu a’lam.
Kitab yang meriwayatkan sahabat Nabi banyak, antara lain Ma’rifah man Nazala min al-Shahabah Saira al-Buldan karya Ibn al-Madini (w.234 H), Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, karya Ibn Abd al-Barr (w 473 H), Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, karya Ibn al-Atsir (w. 630 H), Tajrid Asma al-Shahabah, karya al-Dzahabi (w.748 H), dan Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabh karya Ibn Hajar al-Asqallani (w 852 H). Kitab ini menyajikan riwayat 9477 nama sahabat, 1268 Kuniyah shahabat, dan 1552 tarjamah sahabat perempuan. Dan dalam kitab ini pula Thabaqat al-Shahabah diterangkan.
Lapisan perawi kedua adalah tabi’in. Yaitu seseorang yang bertemu sahabat Nabi, dan mengikuti Islam sampai dia wafat. Jumlah tabi’in susah dihitung, karena jumlahnya berlibat ganda dari jumlah sahabat Nabi. Kitab-kitab yang membahas tentang tabi’in banyak, tetapi digabungkan dengan riwayat perawi lain. Dalam kaitan ini, Ibn Saad (w.230 H) menulis Al-Thabaqat al-Kubra. Kitab ini membahas sekumpulan tokoh yang hidup dalam tahun yang berdekatan, sebagai satu thabaqat. Kemudian disusul dengan sekelompok perawi berikutnya, sebagi thabaqat kedua, dan begitulah setetusnya, sampai tertata beberapa thabaqat. Karya ini diikuti oleh Al-Ushfuri (w. 240 H).
Teknik penulisan matan hadits, sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin, sudah banyak ditulis dalam Kitab Kuning, yang ada dalam perpustakaan, atau dalam CD, dan website. Semua itu adalah substansi ilmu hadits yang sudah baku, statis, dan tidak akan berubah. Karena itu, semua tulisan tadi disebut Buku Kecil.
Sedangkan Buku Besar bagi pengembangan metoda penulisan (takhrij al-sanad) itu, ada dua model, yaitu internal dan eksternal. Pengembang internal takhrij ada empat unsur. Pertama unsur rujukan yang dipergunakan oleh perawi untuk menceritakan hadits kepada murid, apakah memakai dalil nornatif (keyakinan), atau dalil empirik (kondisi dan situasi), atau dalil metodologis. Kedua, unsur kerangka berfikir yang kreatif apa, setelah perawi itu membaca pemikiran tokoh-tokoh pendahulunya. Ketiga unsur cara kerja bagaimana yang mengaktualisasikan periwayatan hadits kepada murid, dengan cara penyampaian tertentu. Keempat unsur bentuk dan model-model substasi hadits yang disampaikan oleh rawi kepada murid, memakai riwayat bi al-makna (konseptual) atau tekstualis seperti bacaan Rasulullah, ketika rawi meriwayatkan do’a, dzikir atau jawami’ al-kalim kepada muridnya.
Pengembangan eksternal takhrij juga ada empat. Pertama unsur entitas kehidupan mencakup aspek kultur dan aspek struktur dalam sistem sosial, termasuk pemakaian pola pikir Ahli Sunnah, Syi’ah dan lain-lain. Kedua unsur perubahan sosial yang mempengaruhi pemikiran tokoh perawi, seperti kehidupan hadits di Hujaz berbeda dengan kehidupan di Baghdad dan lain-lain. Karena itu, dulu muncul format hadits riwayat bi al-makna, dan itu dianggap sebagai format hadits. Sekarang bukan format lagi, tetapi perlu konsep formatisasi oleh teks hadits tadi. Ketiga, unsur tradisi intelektual di kalangan muhadditsin, seperti penulis, pengajar, atau muballigh dan lain-lain. Keempat unsur komunitas perawi sebagai pendukung sosialisasi pemikiran di kalangan ahli hadits, apakah mereka komunitas ahli hadits, atau ahli rakyu, atau komunitas apa namanya. Semua unsur yang disebutkan dalam Buku Besar itu belum banyak dilakukan oleh ahli-ahli hadits sekarang. Atas dasar itu, pemikiran takhrij al-hadits belum dianggap berkembang.
 Jarah-ta’dil adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu. Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas jarah ta’dil.
Jarah ta’dil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah ta’dil. Kemudian konsep itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in, seperti tersebut di atas. Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang.
Dalam pengembangannya, jarah ta’dil merupakan produk cara berfikir deduktif melalui kegiatan yang merujuk kepada seorang rawi, seperti kitab itu menulis bahwa A itu jarah, dan B itu adil. Tetapi jarah ta’dil juga merupakan produk berfikir induktif melalui kegiatan penilaian keabsahan sebuah sanad yang ada pada kitab itu, seperti jarah atau ta’dil itu jika X atau Y dimiliki oleh rawi-rawi yang memiliki sifat itu.
Selanjutnya jarah ta’dil juga dijadikan kerangka penilaian baik diarahkan untuk menguji keajegan atau untuk mempertajam cakupannya. Di sini tampak relasi antara unsur rawi dan unsur takhrij. Sedangkan jarah ta’dil itu sendiri suatu ketika diturunkan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang bersifat deduktif, dan suatu ketika data rawi digeneralisasikan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang bersifat induktif. Dengan kata lain, takhrij untuk memproduksi jarah ta’dil dapat dikelola dengan berfikir deduktif dan dapat dikelola dengan berfikir induktif.
Secara rinci, fokus pengembangan jarah ta’dil tersebar berdasarkan dua pemilahan. (1) Pemilahan matan hadits, seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits kepribadian, dan sebagainya. (2) Pemilahan rawi dari segi jarah atau ta’dil berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir jarah ta’dil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap rawi, sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati adilnya, dan yang paling banyak adalah ualam yang diikhtilafkan penilaian jarah dan ta’dilnya. Atas dasar itu, jarah-ta’dil dapat diterapkan pada konteks yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jarah ta’dil dapat dirumuskan menjadi tiga model. Pertama model landasan jarah-ta’dil. Model ini merupakan landasan filofofis dan rasionalis.Semua teks hadits yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya ingin dinilai sebagai sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang harus dipelajari dan harus dirumuskan, yaitu (a) Apa tujuan jarah-ta’dil.(b) Bagaimana bentuk penilaian jarah atau ta’dil untuk seorang rawi (c) Apakah hadits itu tergolong hadits tasyri’ atau hadits irsyad, atau jalan tengan di antara tasyri dan irsyad (d) Teknis penerapan ilmu takhrij al-rawi.
Kedua model pandangan muhadditsin baik mutaqaddimin atau mutaakhirin. Pandangan itu merupakan cara berfikir ulama dengan menggunakan proses deduksi (istinbath). Dengan berfikir seperti itu terhimpun sejumlah produk pemikiran, sebagaimana tersusun dalam jarah-ta’dil karya-karya Yahya ibn Ma’in, al-Bukhari, atau al-Hakim dan lain-lain, termasuk jarah ta’dil karya al-Razi, Al-Dzahabi, atau Ibn Hajar. Dari semua kitab itu tergambarlah, bahwa jarah ta’dil memiliki hubungan dengan empat langkah. Yaitu (a) Pemikiran ulama tentang jarah ta’dil. (b) Ulasan proses induksi dalam jarah tadil kepada rawi. (c) Hadits yang ditakhrij sanadnya, apakah itu hadits tasyri’ saja atau hadits irsyad juga. (d) Cara penerapan takhrij kepada hadits itu. Atas dasar itu, jarah ta’dil yang ditulis dalam berbagai kitab itu disebut Buku Kecil, dan empat langkah yang mengiringinya disebut Buku Besar.
Ketiga, model aplikasi jarah ta’dil. Model ini terdiri atas empat langkah.(a) Sumber jarah-ta’dil yaitu penilaian seperti terdihimpun dalam Kitab Kuning, tersebut di atas.(b) Dari kitab-kitab itu terdapat jenjang jarah atau ta’dil menurut pemisahan ulama. (c) Jenjang kaidah jarah-ta’dil itu merupakan produk abstraksi dari berbagai hadits, tapi di lain pihak dapat digunakan untuk memahami hakikat hadits baik bersifat umum atau khusus. (d) Atas dasar itu jarah ta’dil dapat diaplikasikan bagi penataan kehidupan para muhaddits yang memiliki daya atur, daya ikat, bahkan daya paksa, seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukjhari dan Muslim mengalahkan hadits yang diriwayatkan oleh ulama lain. Atau rawi yang ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim (ilqa dan mu’asharah) mengalahkan rawi yang ditakhrij oleh ulama lain. Berangkat dari pemikran itu, jarah-ta’dil dapat mempengaruhi pola pikir muhadditsin untuk menata suatu kasus yang ada dalam masyarakat.
Fokus pertama yang membahas tentang landasan jarah-ta’dil bisa didefinisikan sebagai logika induksi yang berfikir logis dan berfungsi sebagai dalil metodologis. Fokus kedua (pemikiran ulama mazhab jarah-ta’dil) didefinisikan sebagai proses induktif, yaitu dipelajari ketika ulama itu merumuskan jarah-ta’dil. Fokus ketiga tentang aplikasi jarah-ta’dil, dapat didefinisikan sebagai cara kerja dalam proses aplikasi bagi penataan kehidupan manusia yang dikaitkan pada pengamalan hadits.
Kaitan Buku Kecil dengan Buku Besar merupakan suatu kontinum yang dihubungkan oleh suatu proses yang bersifat dinamis. Ilmu Manthiq menyebutkan pekerjaan ini dengan nama istid-lal, Ilmu Uhul Fiqh menyebutkan dengan nama istinbath dan Ilmu Ushul al-Tafsir menyebutkan dengan nama isti’wal. Semua penyelesaian ilmu-ilmu metoda itu memilih kerangka pemikiran dan metoda yang dianggap tepat.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi penawaran beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah. Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau mekanisme matan hadits.
Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1) bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan qudsi, jawami’ al-kalim, hadits dzikir dan do’a, hadits riwayat bi al-makna, dan aqwal al-shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :
1. Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan hadits)
Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu :
  1. Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits .
  2. Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.
  3. Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.
  4. Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep,
  5. Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.
2. Nasikh Mansukh fi al-Hadits. Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan berten-tangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah ”Saya melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat.” Riwayat Malik, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh-mansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits wa mansukhuh” karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh” karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar” karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).
3. Asbab Wurud al-Hadits.
Teori ini membahas tentang latarbelakang datangnya sebuah hadits yang diterima oleh seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzul dalam Ulum al-Qur’an. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits dengan matan hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hafsh al-’Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap adalah Al-Bayan wa al-Ta\rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120 H).
Nasikh-Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika nasikh-mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan maa haul al-hadits).
Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan hadits.
Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits yang ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima berdasarkan latarbelakang munculnya pemecahan itu.
C.    Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah
Para peneliti hadits memperhatikan bahwa dasar-dasar ilmu hadist dirayah sudah terdapat sejak masa nabi SAW, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran (QS. Al-Hujarat: 6). Artinya: wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah….
Ayat diatas perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang fasik. Doperiksa untuk diperivikasi keobyektivitasnya dari sumber berita tersebut.
Pada mulanya memang membawa hadits tidak dipersyaratkan adanya sanad (sandaran penyampaian berita), kerena mereka saling mempercayai kejujurannya. Akan tetapi, setelah terjadinya konflik anteralit, yakni antara pendukung Ali dan Muawwiyah, ummat menjadi terpecah kebeberapa sakte, mulailah terjadi pemalsuan hadits, maka para ulama’ mempersaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad . sebagaimana Ibn sirin yang dikutip dari shahih muslim: artinya,”semulah mereka tidak ditanya tentang isnad. Akan tetapi, takkala terjadi fitnah, para ulama berkata: sebutkan kepada kami para-para pembawa berita. Kemudian dilihat jika mereka ahli sunnah diambillah hadist mereka dan mereka ahli bid’ah maka haditsnya ditinggalkan”.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa hadits tidak diterima kecuali disertai sanad, maka dapat disimpulkan bahwa pada sa’at itu telah timbul pembicaraan periwayatan mana yang tercelah dan mana yang adil (ilmu jahri wata’dil), sanad mana yang terputus (munqoti’) dan mana yang bersambung (muttasil), dan cacat (‘illat) yang tersembunyi, sekalipun dalam tarap yang sederhana.
Kemudian ilmu hadits menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para periwayatan(dhabit) kuat apa tidak, bagaimana metode menerima (tahammul) dan menyampaikan (‘ada”) hadits, nasikh dan mansukh, kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Al-hadist) dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan dari mulut kemulut. Baharu pada abad kedua hijriyah sampai abad ketiga ilmu-ilmu hadist ini mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain, belum berdiri sendiri. Misalnya: ilmu hadits yang bercampur ilmu ushul fiqh dalam kitab Arrisalah yang ditulis oleh As-Syafi’I, atau campur dengan kitab fiqh seperti kitab Al-Umm dan Al-ikhtilaf al-hadits karya al-syafi’I (w.204 H).


[1] al-Suyuthi, Tadrb al-Rawi h. 40; al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, h.75.
[2]  M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist, h. 157-164.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar