Selasa, 20 September 2011

ONTOLOGI


A.    Pengertian
Kata Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani. Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada (yang ada)”. Kata Epistemologi berasal dari kata “Episte” yang berarti “pengethuan”. Dan kata Aksiologi berasal dari kata “Axios” yang berarti “bermanfaat”. Ketiga kata tersebut ditambah dengan kata “Logos” berarti “ilmu pengetahuan, ajaran dan teori”.[1]
Menurut istilah, Ontologi adalah Ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyataini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya.[2] Epistomology adalah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses penyusunan pengetahuan yang benar.[3] Sedangkan Aksiologi menurut istilah adalah Ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafalan.[4]
Dengan demikian Ontologi adalah Ilmu pengetahuan yang meneliti segala sesuatu yang ada. Epistomologi adalah Ilmu yang membahas tentang teori, sedangkan Aksiologi adalah kajian tentang nilai ilmu pengetahuan.
B.                 Ontologi
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau otology merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat, seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, ketuhanan, moral dan social, kemudian disusunlah uraian ontology. Maka onotologi sangat sulit dipahami jika terlepas dari bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Dan ontology adalah bidang filsafat yang paling sukar.[5]
Metafisika membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada, mempersoalkan hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau oleh panca indera karena tak berbentuk, berupa, berwaktu dan bertempat.
Dengan mempelajari hakekat kita dapat memperoleh pengetahuan dan dapat menjawab pernyataan tentang apakah hakekat ilmu itu.
Ditinjau dari segi ontology ilmu membatasi diri pada tujuan kajian yang bersifat empiris.[6] Objek penalaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca idera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada di luar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai cirri tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris.
Berdasarkan obyek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan terbagi kepada dua macam, yaitu :
1.      Objek material (obiectum material, material object) ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyeledikan suatu ilmu.
2.      Bojek Forma (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang terhadap objek material.[7]
Untuk mengkaji lebih mendalam hakekat objek empiris, maka ilmu membuat beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap benar dan tidak diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titi tolak segala pandang kegiatan.[8] Asumsi itu perlu sebab pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan.
Ada beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu: Pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Kedua, menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, determinisme yakni menganggap setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan.[9] Asumsi yang dibuat oleh ilmu bertujuan agar mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia.
Asumsi itupun dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan berbagai disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal; Pertama, asumsi harus relevan dengan bidan dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”.[10]
Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari moral. Oleh karena itu seorang ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda maka berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Suatu pengkajian ilmiah hendaklah dilandasi dengan asumsi yang tegas, yaitu tersurat karena yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
C.                Epistemology
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek antologi selanjutnya digiring ke aspek epistemology untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.[11] Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia berfikir tentang kenyataan-kenyataan alam.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa, bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontology, epistemology dan aksiologi. Epistemology itu sendiri selalu dikaitkan dengan antologi dan aksiologi ilmu.[12] Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemology pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek antologi dan aksiologi masing-masing ilmu.
Untuk memperoleh jawaban yang benar dan bukan sekedar jawaban yang bersifat sembarangan maka ilmu tidak berpaling pada perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan pada penalaran terhadap dunia empiris. Oleh karena itu ilmu melalui proses tertentu yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah disebut juga epistemology ilmu.[13]
Kajian epistemology membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan berfikir secara rasional ataupun sebaliknya berfikir secara empiric saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.
Banyak pendapat para pakar tentang metode ilmu pengetahuan, [14] namun penulis hanya memaparkan beberapa metode keilmuan yang tidak jauh beda dengan proses yang ditempuh dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah adalah suatu rangkaian prosedur tertentu yang diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu dari pernyataan yang tertentu pula. Epistemology dari metode keilmuan akan lebih mudah dibahas apabila mengarahkan perhatian kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berfikir yang diatur dalam suatu urutan tertentu.
Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah sebagai berikut:
a.       Sadar akan adanya masalah dan perumusahan masalah
b.      Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
c.       Penyusunan atau klasifikasi data
d.      Perumusan hipotesis
e.       Dedukasi dan Hipotesis
f.       Tes pengujian kebenaran (Verifikasi).[15]
Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masing-masing terdapat unsur-unsur empiris dan rasional.
Menurut AM. Saefuddin bahwa untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu (teori) maka hendaklah melalui metode ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan: Pendekatan dedukatif dan pendekatan indukatif. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan dengan menggunakan salah satunya saja, sebab dedukasi tanpa diperkuat induksi dapat dimisalkan sport otak tanpa mutu kebenaran, sebaliknya induksi tanpa dedukasi menghasilkan buah pikiran yang mandul.
Proses metode keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran kebenaran yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi dan pragmatis.[16] Penilian ini sangat menentukan untuk menerima, menolak, menambah atau merubah hipotesa. Selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan.[17]
D.                Aksiologi
I.  Latar Belakang Ilmu Bebas Nilai
Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu.[18] Bebas nilai atau tidaknya ilmu merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekedar ya atau tidak.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam persfektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543M) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh ajaran agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633M.[19]
Vonis inkuisisi Galileo mempengaruhi perkembangan berfikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Dalam kurun ini para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyang “ilmu yang bebas nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Sehingga Berthand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.[20]
Dengan tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan karena pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup manusia.
Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan mempertanyakan yang bersifat yang seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan kearah mana perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral.[21]
Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan tehnologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis epistemologis, maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral.
Einstein pada akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula moral universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada puncak pemikiran dan penalaahannya terhadap alam semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan ilmu merupakan integrasi rasionalisme empirisme dan mistis intuitif.[22]
Perlunya penyatuan ideology tentang ketidak netralan ilmu ada beberapa alasan, namun yang penting dicamkan adalah pesan Eisntein pada masa akhir hayatnya “Mengapa ilmu yang begitu indah, yang menghemat kerja, membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali pada kita. Adapun permasalahan dari keluhan Einstein adalah pemahaman dari pemikiran Francis Bacon yang telah berabad-abad telah mengekang dan mereduksi nilai kemanusiaan dengan ide “pengetahuan adalah kekuasaan”.
Dari pernyataan di atas, ilmu yang dibangun atas dasar ontology, epestemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai.
II.    Teori tentang Nilai
Pembicaraan mengenai nilai akan membicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi dan nilai kondusi. Segala sesuatu kita beri nilai. Pemandangan yang indah, akhlak anak terhadap orang tuanya dengan sopan santun, suasana lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai sehat.
Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan panca indera, sedang nilai hanya dapat dihayati.[23] Walaupun para filisof berbeda pandangan tentang definisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa nilai adalah pertimbangan tentang penghargaan.
Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya karena saling mempengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan ini dipengaruhi oleh fakta
Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamnya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai. Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai.
Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estitika,[24] Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah : adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban dan apakah implikasi suatu perbuatan baik atau buruk.[25]
Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan hakikat keindahan. Tetapi keindahannya hanya satu.
Menurut Randal, ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, yaitu :
1.        Seni sebagai penembusan (panetrasi) terhadap realisasi disamping pengalaman
2.        Seni sebagai alat untuk kesenangan, seni tidak berhubungan dengan pengetahuan tentang alam dan memprediksinya, tetapi manipulasi alam untuk kepentingan kesenangan.
3.        Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman.[26]
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada manusia itu sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai nilai yang universal yaitu Al-quran dan Al-hadis.


[1] Lihat Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat (Cet.I ; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995),h 30. Lihat pula Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia Dictionary (Edisi II; Jakarta : Modern English Press, 1986), h. 53
[2] Lihat Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), h. 69
[3] Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, op.cit, h. 105
[4] Louis O Kattsoff, Elemen of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327
[5] Anton Bakker, Ontologi atau Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan (Cet. VII; Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 5
[6] Lihat Jujun S. Suriasumntri, Ilmu dalam Perspektif.... op.cit, h. 5
[7] Lihat AM.Saefuddin et.al, op.cit, h.50-52
[8] Ibid, h. 66-67
[9] Lihat Jujun S. Suriaumantri, Ilmu dalam Persfektif ..... op.cit, h. 7-8
[10] Lihat Jujun S. Suriaumantri, Filsafat ... op.cit, h. 89
[11] Lihat ibid, h. 121
[12] Lihat ibid, h. 105
[13] Lihat ibid, h. 119
[14] Liaht Endang Saefuddin Anshari, op.cit, h. 62
[15] Lihat Jujun S. Suriasumantri,  Ilmu dalam Perspektif ... op.cit, h. 105
[16] Lihat Endang Saefuddin, op.cit, h.18. disamping tiga teori kebenaran tersebut Louis O. Katsoff (guru besar di North Carolina University) menambahkan satu teori lagi yaitu teori empiris yang dapat dijabarkan menjadi proposisi mengenai pengalaman indera yang sungguh terjadi. Lihat Louis O. Kattsoff, Ibid, h246-247.
[17] Ibid, h. 4
[18] Jujun S. Suriasumanr,  Ilmu Dalam Persfektif, op.cit, h 233.
[19] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,op.cit, h. 233
[20] Ibid, h. 234
[21] Berpalingnya ilmuan kepada pijakan moral atau etika telah lama menjadi bahasan para ahli seperti Karl Raimund Popper, Robert Merton, M. Polanyi dan sebagainya. Tetapi Islam telah meletakkan etika ilmiah yang harus diperpegangi, antara lain : (1) Landasan tauhid. Pandangan ini menolak prinsip barat bahwa ilmu itu adalah kekuatan dan meyakini akan kebenaran tunggal dan sumber ilmu yang tunggal. Sumber ilmu yang tunggal itu adalah Allah sendiri. (2) keterbukaan. Sikap ini yang bersedia menerima pandangan orang lain yang konstruktif. (3)Toleran. Sikap ini dalam dunia ilmiah berarti mengakui adanya pendapat lain selain pendapatnya. Lihat Moh. Natsir Mahmud, Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer, (Cet. I; Makassar, 2000), h.90-95.
[22] A.M. saefuddin et al. Op.cit. h. 24
[23] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku IV, Jakarta : Bulan Bintang, t,th), h. 46.
[24] H. Burhanuddin Salam, Logika Material Filsafat Materil (Filsafat Ilmu Pengetahuan), Cet. I : Jakarta; Rineka Cipta, 1997), h.168
[25] Ibid, h. 170,
[26] Ibid, h 171-172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar