Jumat, 30 September 2011

Konsep Abu Yazid Al-Bustami


1.                 Riwayat Hidup Abu Yazid al-Bustami
Nama lengkap beliau adalah Taifur bin Isa bin Surusyan[1]. Ia lahir sekitar tahun 200 H/814 M[2] di Bistam sebelah utara Persia dan dimakamkan di sana pada tahun 874 M[3]. Dijelaskan bahwa ia berasal dari lingkungan keluarga terhormat dan terpelajar. Ayahnya Isa bin Surusyan seorang pemuka masyarakat di Bistam, ibunya dikenal sebagai zahid sedangkan kakeknya sebelum masuk Islam adalah penganut Majusi.[4]
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar fikhi Islam menurut mazhab Hanafi. Karena itu ia dimasukkan dalam kelompok Ashab al-Ra’yi yaitu kelompok yang memberikan peranan yang besar kepada akal dalam memahami hokum Islam. Dalam bidang tasawuf, ia belajar dari seorang sufi yang berasal dari Kurdi. Keberhasilannya mencapai tingkat tinggi dalam tasawuf karena latihan spiritual yang dilakukannya secara terus-menerus. Pengalamannya dalam bentuk fana’ diperoleh dari Abu Ali al-Sindi.[5]
Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahid itu adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini dijalaninya melalui tiga fase yaitu, zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat, dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir ini, ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi. Ia membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran banyak ditentang oleh ulama fiqhi dan kalam yang menjadikan sebab ia keluar masuk penjara. Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa paham al-fana’, baqa’ dan ittihad.[6]
Al-Bustami tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ungkapan mengenai pengalaman tasawufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawuf klasik seperti al-Risalah al-Qusyairiyah, Tabaqat al-Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub, Tazkirah al-Auliyya’ dan al-Luma.[7]

2.                Konsep Fana’, Baqa’, dan Ittihad al-Bustami
a.     Fana’
Dari segi bahasa al-fana’ berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak), fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.[8] Fana’ dalam pengertian yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi yaitu:[9]

ذهاب القلب عن حس المحسوسات بمشاهدة ما شا هد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن الذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر و تلفت الآشياء فليس شيء يوخد ولا يحس بشيء يفقد.
Hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya, situasi itu kemudian beralih karena hilangnya sesuatu yang dilihat itu dan hal itu berlangsung ters-menerus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah penghancuran diri (fana’ al-nafs) yaitu perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Pendapat lain mengatakan hilangnya sifat-sifat yang tercela dan yang nampak hanya sifat-sifat terpuji, hilangnya keinginan yang bersifat duniawi dan bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.[10]
Menurut al-Qusyairi fana’ yang dimaksud oleh para sufi adalah:[11]
فنا ؤه عن نفسه وعن الخلق بزوال احساسه وبهم. فنفسه موخودة والخلق موجود ولكن لا علم له بهم ولابه.
Fana’nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya yang terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya. Dirinya dan makhluk lain masih tetap ada tapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
Dari beberapa pengertian di atas tergambar bahwa yang lebur atau fana’ itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau indrawi, sedangkan jasad manusia tetap utuh dan tidak hancur.
Menurut Abu Yazid al-Bustami, fana’ berarti hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga tidak lagi merasakan kehadiran tubuh jasmaniahnya sebagai manusia, kesadaran menyatu dalam iradah Tuhan tetapi bukan dalam wujud Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan beliau berikut ini :
أعرفه بي ففنيت ثم عرفته به فحييت
Aku tahu Tuhanku melalui diriku hingga aku hancur kemudian dengan fana’ku itu aku tahu diri-Nya maka aku pun hidup.[12]
Dalam proses al-fana’, ada empat situasi yang dialami oleh seseorang yaitu al-sakar, al-satahat, al-zawal al-Hijab dan Ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi yang terpusat pada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Syatahat secara bahasa berarti gerakan sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang terlontar dalam keadaan sakar. Al-Zawal al-Hijab diartikan dengan bebas dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada di alam ilahiyat dan ghalab al-Syuhud merupakan tingkat kesempurnaan musyahadah.[13]
b.    Baqa’
Baqa’ merupakan akibat dari fana’ yang secara harfiah berarti kekal, sedangkan menurut para sufi, baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya sifat-sifat manusia. Dalam istilah Tasawuf, fana’ dab baqa’ dating beriringan, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ahli tasawuf :
اذا أشرق نور البقاء فيفنى من لم يكن ويبقى من لم يزل
Apabila nampak nur kebaqaan maka fana’lah yang tiada dan baqa’lah yang kekal.[14]
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari fana’ dan baqa’ adalah mencapai penyatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya ada Tuhan dalam dirinya.


c.      Ittihad

Fana’ dan baqa’ sangat erat kaitannya dengan ittihad. Fana’ yang diikuti dengan baqa’ ibarat jembatan menuju penyatuan dengan Tuhan (ittihad). Menurut Harun Nasution, penyatuan dengan Tuhan itu terjadi langsung setelah tercapainya fana al-nafs.[15]
Dengan fana’, Abu Yazid meninggalkan dirinya sehingga ia baqa’. Tercapainya fana’ dan baqa’ tersebut menyebabkan ia sampai kepada ittihad, dan dalam tingkatan ini ia merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan sehingga keluarlah ucapan-ucapan yang ganjil dari mulutnya. Ucapan yang ganjil itu dikenal dengan istilah syatahat.
Adapun syatahat- syatahat yang terlontar dari mulut al-Bustami yang menggambarkan ia dalam keadaan ittihad diantaranya adalah:[16]

انى أنا الله لا اله الا انا فأعبدونى
Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku
سبحانى ما أعظم شأنى
Maha suci aku, maka besar kuasaku.
وسئل ما هو العرش ؟ فأ خاب أنا هو, وما هو الكرسى ؟ فأخاب أنا هو وما هو اللوح و القلم فأخاب أنا هو
Seseorang bertanya pada Abu Yazid apa ‘arsy itu? Dia menjawab akulah ‘arsy itu, diapun ditanya lagi apa Kursi itu? Jawabannya: akulah kursi itu, dan ditanya lagi apakah Lauh Mahfuz dan Qalam itu? Jawabannya akulah itu.
ليس في الخبة الا الله
Yang ada dalam baju ini adalah Allah[17]
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya pada saat ia berada dalam ittihad yaitu saat ia menyatu dalam diri Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang bersikap toleran, hal itu dipandang hanya sebagai penyimpangan (inhiraf) namun bagi orang yang keras berpegang pada agama hal itu dipandang sebagai kekufuran.


[1] Muhammad Diya’ al-Din al-Kurdy, Nasy’ah al-Tasawwuf al-Islamy, (Kairo:Dar al-Salam, 1763), h. 87. Tentang penulisan nama ada yang menulis Abu Yazid Taifur bin Isa bin Surusyan, al-Bistami, al-Bustami, dan al-Bazayid.
[2] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Cet.2;Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 295.
[3] Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, terjemahan Ghufron A. Mas’adi (Cet. 2; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) h. 61.
[4] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Cet. 4; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 262.
[5] Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, Jilid I (Jakarta : Djambatan, 1992), h. 59.
[6] Asmaran AS, op.cit. h. 297
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, log.cit
[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Ed.I, Cet.4; Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002), h. 231.
[9] Ibrahim Basyuni, Nasy’ah Tasawwuf al-Islamy (Kairo: Dar al-Ma’arif,1969), h. 138.
[10] Muhammad Diya’ al-Din al-Kurdy, op.cit, h. 77
[11] H.A.Rifa’i Siregar, Tasawuf dari sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet.2;Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), h. 147.
[12] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), h. 236
[13] HA. Riva’i Siregar, op.cit. h. 148
[14] Abuddin Nata, op.cit. h. 232
[15] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, (Cet. 4 ; Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 79
[16] Muhammad Diya’ al-Din al-Kurdy, op.cit.,h.89
[17] Harun Nasution, Filsafat, op,cit,. H. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar